Ketika Game of Thrones mulai diperkenalkan melalui layar kaca di musim pertamanya. Tak sedikit yang langsung jatuh cinta dengan tokoh Tyrion Lannister, seseorang dengan kondisi dwarfism dari klan Lannister, salah satu klan besar dan—bisa dibilang—yang paling kaya.
Karena kondisi tubuhnya tersebut, Tyrion sampai memperoleh julukan ‘The Imp’. Namun, tidak seperti kebanyakan orang dengan kondisi serupa, Tyrion justru digambarkan sebagai tokoh yang penuh percaya diri, cerdas, pemberani, tetapi tidak sampai seperti kacang yang lupa pada kulitnya. Sebaliknya, Tyrion justru menjadi salah satu karakter dalam seri tersebut yang paling tahu tempat dan sadar situasi, paham benar dengan segala kekurangan yang dimilikinya.
Dalam episode satu di musim pertamanya, Winter is Coming, Tyrion memberikan wejangan kepada Jon Snow, seorang anak haram di bawah payung klan Stark yang menempati Winterfell, titik paling utara sekaligus paling dingin di Westeros—tempat yang secara alamiah keras bagi mereka yang haram, cacat, dan rusak.
Let me give you some counsel, bastard. Never forget what you are, for surely the world will not. Make it your strenght. Then it can never be your weakness. Armor yourself in it, and it will never be used to hurt you.
Dari wejangan tersebut, kita bisa dengan mudah mengukur seberapa sadar dirinya seorang Tyrion Lannister. Sebagai seorang cebol, Tyrion tidak lantas menggunakan sepatu berhak tinggi atau gaya berpakaian yang membuat dirinya nampak tinggi.
Ia tahu betul bahwa dunia mengenalnya sebagai The Imp, dan akan selamanya demikian. Jadi, alih-alih berpura-pura sebagai sosok yang bukan imp, Tyrion justru menggunakan julukan tersebut dengan kebanggaan. Melalui hidup yang dilakoninya, ‘the imp’ tidak lagi ditekankan oleh banyak orang di sekitarnya sebagai ‘the IMP’, melainkan ‘THE imp’.
Di sepanjang seri, Tyrion Lannister tidak pernah tersinggung atau menolak ketika dicemooh dengan julukan ‘the imp’. Karena memang demikianlah adanya. Hanya saja, Tyrion bukan sekadar imp, dia adalah THE imp; si kerdil yang usil, banyak akal, dan penuh muslihat.
Tyrion Lannister hanya berhasil menyelamatkan diri sebagai seorang kerdil, tetapi justru dirinya selamat karena ia adalah seorang kerdil.
Di antara banyak moral dan kebijaksanaan yang ditumpahkan oleh Tyrion Lannister dalam Game of Thrones, kurasa bagaimana ia memaknai dan bahkan mempersenjatai cemoohan yang diberikan kepadanya adalah pelajaran paling berharga yang bisa kita petik.
Cemoohan tetap cemoohan, apalagi yang akan selalu melekat kepada diri kita. Namun, menurutku cemoohan yang diberikan orang kepada kita bisa memiliki nilai yang lebih dari sekadar cemoohan, tergantung bagaimana cara kita memaknainya.
Menjadi seorang autis, misalnya, tak lantas membuatku merasa harus selalu rendah diri. Tetap sadar diri, tentu, tetapi justru dengan kesadaran diri tersebut aku bisa melakukan banyak hal yang justru tak bisa dilakukan oleh orang lain. Sia-sia, rasanya, untuk selalu merasa malu dicemooh sebagai anak autis, karena toh karakter tersebut akan selalu menempel padaku dan dunia akan terus mengingatkanku bahwa akulah anak autis itu.
Aku hanya berharap bahwa banyak orang lain dengan status yang berbeda dapat, pada suatu waktu, menemukan makna yang sama dengan yang kuperoleh ketika dicemooh, bahwa hidup akan terus berjalan seperti cemoohan tersebut akan terus datang; dan bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan cemoohan tersebut selain merasa rendah diri dan kehilangan harapan akan masa depan.
Leave a Reply