placeholder

your best pick for something trivial


Tentang Menikmati (Kekalahan)

Lahir di pertengahan akhir bulan Maret, Aries adalah zodiak yang menaungiku. Seperti kebanyakan orang yang juga memiliki zodiak yang sama, aku dikenal sebagai sosok yang ambisius dan kompetitif.

Untuk kualitas yang pertama, menurutku aku sudah tidak terlalu ambisius seperti dulu. Entah apa yang mengubahku, mungkin hidup itu sendiri; yang jelas, ambisi yang muluk-muluk seperti menggulingkan pemerintahan dunia dan semacamnya sudah tidak lagi kutekuni secara serius.

Hidup berjalan semestinya hidup biasa berjalan: pelan, pasti, dan tidak adil. Ambisi-ambisi yang sedemikian besar—karena jika kecil tidak mungkin jadi target ambisius, dong?—kian hari terasa semakin sulit untuk dipenuhi. Jangankan menggulingkan pemerintahan dunia, menggantikan peran ayah di Kartu Keluarga saja rasanya sudah malas luar biasa, kan?

Bisa hidup serba berkecukupan saja, tanpa ambisi yang terlalu muluk, sudah sulit untuk dicapai; dan mungkin, karenanyalah aku sudah tidak terlalu ambisius seperti dulu. Mungkin sedikit keras kepala, tetapi biarlah itu menjadi pembahasan di lain waktu saja.

Nah, untuk kualitas kedua, kompetitif, rasa-rasanya tak banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Aku masih dengan mudah menganggap segala sesuatu sebagai sebuah kompetisi—sesuatu yang harus kumenangkan, tidak bisa tidak.

Menurutku, menjadi kompetitif adalah salah satu cara paling mudah untuk memperbaiki diri. Dengan melompat ke dalam sebuah kompetisi, mau tidak mau kita harus menjadi lebih baik dari orang lain, kan? Termasuk, mungkin, menjadi lebih baik dari diri sendiri. I found it no surprise why are we called human race. Because we are always in a race to something.

Baru akhir-akhir ini aku sadar bahwa tidak semua hal perlu jadi kompetisi, dan tidak semua kompetisi harus dimenangkan. Sama seperti hidup yang pelan, pasti, dan tidak adil; kompetsi tidak harus selalu tentang yang paling cepat, terkadang tidak pernah jelas siapa yang akan keluar sebagai pemenang, dan tak selamanya pula bersikap adil.

Kadang, menjadi pihak yang kalah merupakan sesuatu yang wajar. Tanpa bermaksud menormalisasi kekalahan, tetapi rasa-rasanya kalah dalam sesuatu juga tidak seburuk apa yang biasanya kita bayangkan, kok?

Menikmati kekalahan, menurutku, bisa menjadi bagian yang tak kalah menyenangkannya dalam sebuah kompetisi. Menyadari di mana batasan kemampuan yang kita miliki, mencari tahu bagian mana yang bisa diperbaiki, dan menerima faktor-faktor yang sudah tidak mungkin diubah lagi, kurasa bisa membuat kekalahan terasa lebih berharga daripada keluar sebagai pemenang.

Terlalu ambisius untuk berkompetisi dengan tujuan menjadi pemenang, kusadari membuatku lupa bahwa kekalahan sebenarnya juga bisa menjadi sesuatu yang dapat dinikmati. Tak hanya tentang hidup atau kompetisi dalam kehidupan saja, toh istilah ‘feeling defeated‘ sebenarnya bisa mencakup banyak hal, kan?

Mendapati orang lain memperlakukan kita dengan cara yang tidak bisa kita setujui, misalnya saja, atau ketika kita mengetahui ternyata orang yang kita sayang tidak dapat melihat seberapa berharganya kita, bisa juga dianggap sebagai kekalahan. Hanya saja, pertanyaannya, apakah kekalahan ini sesuatu yang perlu dibalas? Haruskah kita menang? Apakah semua orang harus memperlakukan kita seolah we are worth to keep around?

Uhm, n’ah, menurutku, dibandingkan harus mengeluarkan upaya lebih untuk mendifinisikan nilai kita berdasarkan bagaimana orang lain melihat diri kita, agaknya lebih menyenangkan untuk menerima perlakuan yang tidak seharusnya tersebut sebagai sebuah kekalahan, menikmatinya sebisa mungkin, kemudian melanjutkan kembali hidup yang pelan, pasti, dan tidak adil ini.



One response to “Tentang Menikmati (Kekalahan)”

  1. if that’s what you call winning, I’m okay being a loser.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.