Treat others like you want to be treated.
Di antara banyak nasihat yang kudapat, dari berbagai sumber, akibat beragam alasan, oleh beberapa mulut berbeda, petuah yang kukutip di atas termasuk salah satu yang paling sering menggigitku dengan sadis.
Tak bermaksud berkilah, tetapi sebagai seorang neurodivergence, terkadang memang sulit untukku melihat sesuatu secara normal; sebagaimana mereka yang neurotypical melihat hal serupa.
Persepsiku terhadap sesuatu yang kuanggap lazim, sering kali dipandang tak lazim oleh banyak orang di sekitarku. Sebaliknya, apa yang umum di mata orang lain, bisa jadi sesuatu yang begitu menggelitik bagiku. Contoh paling sederhana adalah persepsiku terhadap tiga kata ajaib: terima kasih, tolong, dan maaf.
Mereka yang dekat denganku mungkin menyadari bahwa tiga kata ini termasuk kata-kata yang kuucapkan kepada mereka, tetapi justru sering kugunakan saat berbicara dengan orang yang benar-benar asing.
Beberapa menganggapnya biasa, tapi tak sedikit pula yang menganggapku tak sopan. Padahal, sesungguh-sungguhnya, aku hanya sedang mengamalkan petuah ‘treat others the way you want to be treated‘.
Terhadap teman, aku lebih sering memberi perintah, “Ambilkan itu, dong!“; atau bertanya, “Boleh ambilkan itu?”; alih-alih meminta tolong. Karena memang begitulah aku ingin diperlakukan. Jika kita memang berteman, kamu tak perlu sampai memelas meminta tolong. Ceritakan saja masalahmu, dan aku akan membantumu semampu yang aku bisa, sekalipun mungkin hanya sebatas meminjamkan telinga.
Dengan orang yang sepenuhnya asing, tentu aku tak bisa bersikap demikian. Apabila mereka tidak secara jelas meminta tolong, besar kemungkinan aku juga tidak akan membantu. Jadi, tak aneh, kan, bila terhadap orang asing aku mengucapkan kata ‘tolong’, tetapi justru tidak kepada orang yang memang dekat denganku?
Tak jauh berbeda, aku lebih mudah mengucapkan terima kasih kepada essential worker, dan bisa dibilang cukup jarang secara verbal berterima kasih kepada orang-orang terdekat.
Sederhana saja, besar kemungkinan aku tidak mau melakukan apa yang dilakukan oleh waitress, satpam, atau mungkin driver ojol. Karenanya, ketika mereka memberikan layanannya kepadaku, jelas aku sangat berterima kasih.
Namun, dengan teman tentu tak demikian. Apa pun yang kulakukan untuk orang-orang terdekatku, kulakukan karena mereka orang-orang terdekatku. Tak perlu berterima kasih, karena kita memang sudah sedekat itu. Karenanya pula, aku merasa wajar untuk tidak berterima kasih kepada orang-orang terdekatku, karena memang sudah sepantasnya, kan, mereka seperti itu?
We are taking each other for granted, no need to thank each other for that.
Untuk kata maaf, situasinya sedikit berbeda. Jika tolong dan terima kasih tidak kuucapkan kepada orang-orang terdekatku karena aku tidak merasa perlu untuk mendapatkan kata-kata tersebut dari mereka; maaf bukanlah sesuatu yang mudah kuucapkan karena aku tak bisa benar-benar yakin dapat menerima permintaan maaf dari orang lain dengan tulus.
Sejujurnya, sulit untuk menjelaskan keenggananku, atau ketidakpercayaanku, terhadap kata maaf. Dalam banyak kasus, tanpa permintaan maaf pun, bukan tidak mungkin kita akan tetap memaafkan orang yang telah menyakiti kita.
Namun, dalam beberapa kasus yang tak sedikit pula, tanpa adanya permintaan maaf, susah bagi kita untuk mengakui adanya sebuah masalah; dan bila masalah tersebut sulit untuk diakui keberadaannya, kemampuan kita untuk menutup masalah tersebut menjadi sangat terbatas.
Sulit untuk tidak mendendam ketika kita tidak mendapatkan closure atas dendam yang dirasakan, kan?
Masalahnya, aku pribadi menganggap adanya orang-orang yang mendendam padaku bukanlah sebuah masalah. Hidup tetap berjalan dengan atau tanpa adanya orang yang membenci kita; sama sekali bukan masalah untukku jika ada beberapa orang yang menyimpan dendam kepadaku.
Anggapan bahwa bagiku tidak masalah jika seseorang mendendam karena tak memperoleh closure dariku, sedikit banyak membuatku enggan meminta maaf karena, toh, jika mereka tidak memaafkanku dan terus mendendam, aku juga tidak keberatan. Itu hidup mereka, dan jika mereka ingin menghabiskannya untuk mendendam, aku tidak punya hak apa pun untuk melarang, kan?
Sebaliknya, tidak masalah pula jika orang-orang yang melukaiku tidak meminta maaf kepadaku. Apabila mereka tidak keberatan ketika aku tak menemukan closure dan terus mendendam kepada mereka, tidak meminta maaf pun tak apa, kok.
Leave a Reply