placeholder

your best pick for something trivial


Tentang Membangun (Dekonstruksi)

Kalau boleh jujur, orang Indonesia sebenarnya bisa dibilang sebagai masyarakat yang paling sial. Secara teknis, Indonesia termasuk dalam kuadran negara dengan pendapatan per kapita yang rendah serta jaring pengaman sosial yang kurang lebih sama rendahnya.

Artinya, sulit bagi masyarakat Indonesia untuk naik kelas secara ekonomi. Sederhana saja, dengan jaring pengaman sosial yang ala kadarnya, hidup sehari-hari di Indonesia tak ubahnya petualangan tanpa batas yang penuh dengan risiko.

Namun, tak perlu terlalu jauh membahas hal tersebut, karena ada kesialan yang lebih malang lagi bagi orang Indonesia.

Sering kali dianggap sebagai masyarakat yang sangat memegang moral, menurutku pribadi ini bukanlah kualitas yang sepenuhnya baik, karena artinya sudah ada nilai-nilai khusus yang tumbuh dalam masyarakat tersebut. Sayangnya, nilai-nilai ini tak selamanya positif.

Dalam kenyataannya, seiring dengan berkembangnya zaman, nilai-nilai dalam masyarakat juga mengalami pergeseran …, atau justru persepsi masyarakatnya yang bergeser. Sederhananya, nilai-nilai yang tadinya digenggam begitu kuat, bisa jadi lekang oleh waktu dan dilepaskan; sebaliknya, masyarakat yang tadinya menganut nilai tertentu, bisa jadi merasa nilai tersebut tak lagi dapat memenuhi kebutuhannya, dan menemukan konvensi nilai baru yang lebih sesuai.

Idealnya, masyarakat bergerak maju sehingga nilai-nilai yang dipegang pun bergeser secara progresif. Hanya saja, untuk Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya.

Arah perkembangan masyarakat yang diharapkan progresif justru mundur ke arah konservatif. Konvensi yang dipertahankan pun bersifat represif. Konflik horizontal pun lebih mudah terbakar, kemudian berkobar dengan bahan bakar perbedaan antargenerasi.

Dengan situasi yang demikian, menurutku akan sangat menyenangkan apabila kita bisa membangun nilai-nilai baru yang lebih sesuai, sekalipun dengan menghancurkan bangun nilai yang sudah ada; bersikap opresi terhadap norma-norma yang represif.

Aku tidak tahu dari mana asalnya anggapan bahwa laki-laki harus memiliki tatanan rambut yang pendek, rapi, dan klimis; bisa jadi karena anggapan bahwa laki-laki seharusnya tampil sesuai dengan kodratnya. Namun, jika kodrat yang dijadikan alasan, menurutku laki-laki botak adalah laki-laki yang sesuai kodrat.

Lagipula, jika laki-laki tidak boleh berambut panjang, kenapa rambut laki-laki tumbuh terus? Lalu, mengapa perempuan berambut pendek kerap kali dianggap cute, padahal tidak tampil sesuai dengan kodratnya?

Sebenarnya, mengapa manusia diberi kemampuan berpikir jika harus mengikuti kodrat? Apakah memiliki pikiran untuk mempertanyakan kodrat bisa dianggap sebagai menentang kodrat? Apabila mempertanyakan kodrat tak sama dengan menentang kodrat, apakah dengan diberi kemampuan berpikir, sebenarnya kita tengah dikodratkan untuk mempertanyakan kodrat?

Jujur aku memulai tulisan ini untuk mengenali diriku sendiri, tetapi justru berakhir dengan banyak sekali pertanyaan yang aku pun tak yakin sebenarnya boleh kutanyakan atau tidak, dan apakah aku yang salah atau pertanyaan-pertanyaan ini yang salah bila kemudian aku semakin ingin membangun sebuah dekonstruksi terhadap nilai-nilai yang selama ini lazim dianut masyarakat Indonesia?

Kurasa, sama seperti pertanyaan-pertanyaan lainnya, pertanyaan ini pun akan mengendap sesaat dalam kepalaku, sebelum akhirnya tergelincir ke sudut pikiran, berdebu dan menanti untuk dilupakan.

Namun, aku tak ingin lupa dengan pertanyaan-pertanyaan ini, dan karenanya aku akan berusaha sebisa mungkin memanjangkan rambutku, mewarnai kukuku, dan berpenampilan senatural mungkin seperti perempuan tanpa kehilangan identitasku sebagai laki-laki.

Aku akan terus membangun nilaiku sendiri, sekalipun mungkin dengan menghancurkan nilai yang sudah ada selama ini.



One response to “Tentang Membangun (Dekonstruksi)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.