placeholder

your best pick for something trivial


Tentang Membentuk (Inferioritas)

Mungkin, beberapa orang akan menyebut apa yang akan kuceritakan ini sebagai humble brag.

Jika mereka berharap dengan menyebutku humble bragger, aku akan merasa marah, mereka benar. Namun, jika mereka berpikir aku akan marah karena dicemooh dengan sebutan bragger, sayang sekali, bukan itu alasanku marah, karena aku memang menemukan kepuasan tersendiri saat berhasil menyombongkan sesuatu yang benar-benar kumiliki.

Yap, bragging bukan perkara yang asing bagiku …, being humble is.

Orang-orang terdekatku jelas paham; (sebagian dari) mereka toh memang mengenalku sebagai pribadi yang congkak dan jumawa. Jika memang aku mampu, dan kebetulan memiliki kualitas yang bisa kubanggakan, aku akan membanggakannya dengan penuh kesombongan hati.

Jadi, percayalah. Apa yang akan kuceritakan kali ini sama sekali bukan sebuah humble brag. Like … I do wish it is, but it isn’t, really. But anyway

Hingga beberapa tahun yang lalu, aku tak pernah menganggap, atau bahkan sekadar menyadari, bahwa untuk ukuran orang Indonesia seusiaku, sebenarnya aku tergolong tinggi. Sepanjang hidupku, aku selalu menyimpan anggapan bahwa tinggiku cukup standar. Tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah, senormalnya orang Indonesia saja.

Sebenarnya, anggapan ini cukup menarik, karena toh aku memiliki banyak teman yang tinggi badannya tergolong mungil (with all due respect), jauh lebih rendah jika tinggi badanku sendiri yang dijadikan pembandingnya.

Jarang sekali aku memikirkan fakta tersebut, selain karena aku memang tidak membeda-bedakan teman berdasarkan tinggi badannya, atau menilai kualitas pertemanan dari tinggi badan, sering kali kami berinteraksi dalam keadaan duduk. Memang, tetap ada sedikit perbedaan tinggi badan antara dua orang yang duduk bersama, tapi aku tak perlu menunduk hanya untuk menjalin pandangan dengan mereka, kan?

Sampai akhirnya, sekitar tahun 2022, ketika aku mengeluhkan rambutku yang mulai rontok dan mulai muncul bald spot yang mengesalkan karena tidak bisa diapa-apakan lagi (genetic is a bitch, right?!), salah satu teman mungilku memilih untuk menggunakan kalimat yang menarik dalam menghiburku.

Orang tinggi mah santai aja, nggak banyak juga yang bisa ngeliat bald spot maneh.

Boom! Wah, ternyata tinggi badanku sebenarnya di atas rata-rata! Tentu aku sempat berpikir bahwa teman mungilku tersebut berpendapat demikian karena dia mungil, kan, sampai akhirnya ada teman lain yang tidak terlalu mungil ikut mengiyakan.

Opini tersebut pun kukonfirmasi lagi dengan teman-teman yang lain, dan, ya, ternyata memang tidak begitu etis bagiku untuk menyebut diriku ini pendek; karena aku memang tidak pendek, setidaknya jika dilihat dari standar tinggi orang Indonesia pada umumnya.

Kenapa, sih? Kok, bisa-bisanya aku beranggapan bahwa aku pendek (dan jelek)? Mencoba mengenali diriku sendiri, aku merasa kedua orang tuaku memegang peranan yang cukup penting dalam membentuk rasa inferior ini.

Pasalnya, sejak kecil, kedua orang tuaku selalu, dengan rutin, menyempatkan untuk memanggilku pesek dan pendek. Mungkin karena aku anak bungsi dengan rentang usia yang cukup jauh dari kakak-kakakku, sehingga aku terasa mungil di mata mereka.

Kadang, saat melihat acara televisi atau tropes yang berlaku di budaya barat untuk memanggil anak-anak mereka dengan ‘my princess’, ‘gorgeous’, dan semacamnya, aku merasa ini berlebihan. Namun, setelah menyadari sendiri seberapa besarnya rasa inferiorku terhadap tubuhku sendiri, kurasa budaya ini sebaiknya memang tidak dikandangkan di barat saja.

Semua orang tua memang pernah menjadi anak-anak, tetapi seiring bertambahnya usia, dan mungkin juga karena sering melihat kebodohan para muda, tak sedikit orang tua yang kemudian lupa bagaimana mereka membentuk persepsi ketika masih menjadi anak-anak.

Manusiawi, memang. Di antara banyaknya tagihan dan permasalahan hidup yang mungkin dipikirkan (aku tak pernah menjadi orang tua, jadi aku tak benar-benar tahu), memikirkan bagaimana anak-anak berpikir mungkin merupakan pikiran yang mudah terabaikan.

Usiaku saat ini 35 tahun, dan dari 35 tahun hidupku tersebut, hanya 2 tahun saja yang kulalui dengan fakta bahwa aku tidak pendek, sekalipun memang pesek.

Sedih sekali rasanya mengingat kembali bagaimana kedua orang tuaku selalu mengajarkan agar aku menjadi kuat, dapat diandalkan, dan tumbuh besar secara literal maupun figuratif, tetapi justru merekalah yang membuatku tumbuh sebagai pribadi yang penuh rasa inferior.

Lebih sedih lagi saat menyadari bahwa akar masalahnya bisa dibilang sangat sepele, hanya sekadar panggilan masa kecil yang terbawa terus seiring pertumbuhan mentalku sebagai anak mereka. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi manusia yang selalu merasa inferior, tetapi justru itulah yang secara tidak sadar mereka bentuk.

Aku mungkin tidak akan pernah (karena memang tidak ingin) berkesempatan menjadi orang tua, tetapi jika suatu saat nanti aku memiliki anak, aku ingin menyematkan nama panggilan yang bisa membuat mereka bangga dengan dirinya sendiri. Aku ingin anak-anakku tidak merasa inferior dengan hal-hal kecil, atau bahkan hal-hal yang sebenarnya tak ada, hanya karena aku membiasakan mereka membentuk rasa inferior tersebut.

Aku akan menyempatkan diri untuk memanggil anak perempuanku ‘my princess‘ setidaknya sekali sehari, setiap hari selama mereka masih anak-anak; dan agar anak lelakiku tumbuh kuat, dapat diandalkan, serta selalu dipuja pengikutnya, aku akan memanggilnya Baphomet!



2 responses to “Tentang Membentuk (Inferioritas)”

  1. Bro, 2 out of 35 is shameful.

  2. enjoy the following years of being gorgeous!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.