Sejujurnya, aku baru benar-benar menyadari bahwa setiap emosi negatif yang kumiliki ternyata mengakar cukup kuat dari pilihan-pilihan yang diambil oleh kedua orang tuaku.
Setidaknya, dari dua posting yang sudah kuterbitkan sebelum tulisan ini, aku seolah-olah menempatkan ayah dan ibuku pada posisi yang membuatku tumbuh menjadi orang yang sedemikian negatif. Maklum, namanya juga blog baru, jadi meski hanya ada dua posting, terus saja kubaca berulang-ulang; dan …, oh, iya, ya? Kenapa di dua posting tersebut aku terasa sangat menyalahkan ayah dan ibu?
Sedikit banyak, aku paham bahwa tumbuh kembang seorang anak pasti akan sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Bagaimana anak itu nantinya berpikir, membangun persepsi, atau bahkan mengumpulkan pertimbangan ketika harus mengambil sebuah keputusan, tentu akan sangat dipengaruhi oleh fase awal kehidupannya; dan sudah sewajarnya orang tua memegang peranan penting dalam fase awal kehidupan anak-anaknya, kan?
Mungkin, inilah mengapa setiap psikolog yang kutemui selalu lebih tertarik untuk membahas tumbuh kembangku semasa kecil, terlepas dari seberapa menariknya aku menyampaikan masalah hidup yang kuhadapi saat ini. Mungkin, mereka juga paham bahwa untuk keluar dari masalah yang sekarang kuhadapi, aku perlu memahami dahulu akar masalah yang terjadi sejak dulu.
Namun, yang mungkin kita lupakan, kemampuan memahami sebab terjadinya sebuah perkara tak selalu diikuti dengan keinginan, atau kemampuan, untuk menghadapi masalah tersebut. Setidaknya, itu yang kurasakan pada diriku sendiri.
Belasan sesi konseling yang telah kulalui, sedikit banyak, membantuku untuk memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam tumbuh kembangku sendiri. Namun, bukan berarti aku bisa dengan mudah keluar dari masalah tersebut.
Bahkan dengan belasan sesi konseling yang telah kulalui tersebut, aku masih kesulitan untuk mengomunikasikan secara langsung apa yang saat ini kurasakan. Padahal, aku sebenarnya bisa mengidentifikasi perasaanku, tetapi aku tetap kesulitan untuk secara verbal mengomunikasikannya.
Suatu ketika, pasanganku pernah bertanya, “What do you love from me?”
Saat itu, aku diam, sama sekali tidak menjawab, sekalipun kepalaku sudah penuh dengan puluhan alasan yang kuyakin cukup dipoles sedikit saja untuk menjadi kalimat yang dapat membuatnya puas. Sebaliknya, yang berhasil terucap hanya kalimat singkat sederhana yang terdengar sangat umum dan normatif.
Melihatnya tampak sedih dengan jawaban yang dia terima jelas membuatku merasa jauh lebih sedih lagi. Saat itu, ingin sekali aku meneriakkan setidaknya satu saja kalimat yang sudah kususun dengan baik dalam kepalaku. Hanya saja, yang keluar justru air mata, dengan isak yang sesekali menyusup keluar dari tenggorokan yang tercekat.
Aku sama sekali tak ingin menyalahkan siapa pun atas kesedihan yang kami rasakan saat itu. Namun, bukan berarti tidak ada yang salah, dan bukan berarti juga tidak ada masalah. Pada kenyataannya, dengan cara kami masing-masing, baik aku dan dia sama-sama terluka, kan?
Bahkan setelah memahami itu semua, mengomunikasikan perasaanku secara verbal masih menjadi masalah yang tak bisa kuselesaikan.
Jika ditanya, tentu aku ingin sekali dapat mengomunikasikan segala hal yang kurasakan, terlebih kepada orang-orang terdekatku. Jujur, aku ingin sekali berhenti memelihara diamku, membiarkannya tumbuh menjadi miskomunikasi yang memisahkanku semakin jauh dengan orang-orang terdekatku.
Mengapa justru ketika kita memahami penyebab suatu masalah, semakin mudah pula kita menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar? Memeliharanya menjadi masalah yang lebih besar?
Mengapa ketika aku benar-benar memahami bahwa miskomunikasi merupakan masalah besar yang harus segera kuselesaikan, justru aku semakin takut untuk menghadapinya?
Leave a Reply