placeholder

your best pick for something trivial


Tentang Menangisi (Kematian)

Sampai sekarang aku masih kurang paham mengapa menangis menjadi sesuatu yang sangat memalukan untuk dilakukan oleh orang dewasa, terutama laki-laki. Seolah seiring bertambahnya usia seseorang, kelenjar air mata yang dimilikinya akan mengering dan tak lagi berfungsi.

Padahal, tidak demikian, kan?

Berbeda dengan gigi susu yang tanggal digantikan oleh gigi tetap ketika kita beranjak dewasa, kelenjar air mata akan terus ada, dan akan terus memproduksi air mata.

Menurutku, menangis bukanlah tindakan yang menunjukkan kelemahan seseorang. Kalaupun memang menangis mencerminkan kelemahan, lalu kenapa? Berpikir bahwa manusia merupakan sosok yang kuat dan sama sekali tidak memiliki kelemahan, menurutku, merupakan sesuatu yang sangat ganjil.

Pada dasarnya, vulnerability toh merupakan kualitas yang menjadikan manusia manusia, kan? Ditambah lagi, memang banyak pula, kan, penyebab tangis yang juga valid di dunia ini?

Entah sejak kapan, aku berhenti merasa bahwa menangis merupakan tindakan yang memalukan serta menunjukkan kelemahan. Aku berhenti menutup-nutupi tangisku. Jika memang air mata itu ingin mengalir turun, ya, sudah, biarkan mereka mengalir turun.

Meski tak selalu, faktanya ketika tengah menangis pun aku masih bisa berfungsi selayaknya manusia pada umumnya; masih bisa menyelesaikan pekerjaanku, masih bisa tertawa dengan teman-temanku, masih bisa melakukan aktivitas normal. Jadi, kenapa harus malu? Kenapa harus merasa lemah?

Beberapa waktu lalu, aku menangis hebat karena membaca satu kutipan yang benar-benar di luar ekspektasi ketika menonton salah satu seri anime yang bahkan tidak kuingat judulnya.

The greatest gift a child can give to their parent is to outlive them.

Kutipan ini memberikan perspektif lain yang menurutku sebenarnya tidak terlalu asing; karena sebelumnya menemukan kutipan tersebut, aku benar-benar meyakini bahwa tangisan yang pilu adalah tangisan orang tua yang ditinggal mati oleh anak-anaknya.

Jadi, saat menemukan kutipan tersebut, tanpa bisa ditahan lagi tangisku meleleh. Karena, memang benar, bila kesedihan yang paling pemungkas merupakan sedihnya orang tua yang ditinggal meninggal oleh anaknya, tentunya kebahagiaan yang paling melegakan bagi mereka adalah saat mereka menyadari bahwa anak-anaknya mampu hidup lebih lama daripada mereka, kan?

Kalau dipikir-pikir, ya, tidak salah juga, sih. Sering kita dengar bahwa kasih orang tua, terutama ibu, bukanlah jenis kasih yang mengharap pamrih. Benar, memang, orang tua pasti senang saat menerima hadiah lain dari anak-anaknya; atau senang saat mengetahui anaknya tak menimbulkan masalah bagi mereka.

Nah, bayangkan apabila anak-anak ini menghadiahi orang tua mereka dengan keyakinan bahwa mereka akan berumur panjang, bahkan mungkin mampu hidup lebih sukses daripada mereka; I’d say it’s the greatest gift a parent can be grateful for from their children.

But then, what about the child? Aku masih ingat seberapa keras aku menangis saat menerima kabar bahwa ibuku meninggal dunia. Setelahnya pun kadang aku masih menangis jika teringat betapa sebentar waktu yang kuhabiskan dengannya; berapa banyak yang seharusnya bisa kulakukan bersamanya, dan tidak kulakukan; berapa banyak penyesalan karena melakukan sesuatu yang membuatnya kecewa, ketika aku seharusnya bisa tidak melakukannya.

Kemudian aku membayangkan seberapa keras ibuku akan menangis jika keadaannya berbalik? Seberapa besar penyesalan yang akan dimilikinya, dan seberapa sedihnya aku bila mengetahui penyesalan-penyesalan tersebut.

… and if the greatest gift a child can give to their parent is to outlive them, it will also be the greatest gift a child can give to themselves. And if crying over it is the sign of weakness, I’m happy enough being the weakest child to outlive his parents.



2 responses to “Tentang Menangisi (Kematian)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.