Sebenarnya lucu juga, sih, ketika banyak orang mengenalku sebagai pribadi yang asertif, padahal mengomunikasikan apa yang sedang kupikirkan, atau kurasakan, sebenarnya menjadi salah satu masalah yang paling serius serta harus segera kuatasi.
Mungkin, berbeda dengan emosi, menjadi asertif untuk hal-hal tertentu merupakan sesuatu yang mudah untuk kulakukan. Misalnya saja menyampaikan gagasan tertentu yang dapat mempermudah kerja teman-teman di kantor; atau menyampaikan kesulitan yang mungkin akan dihadapi saat mengeksekusi suatu ide. Rasanya, hal-hal semacam itu lebih mudah untuk disampaikan secara langsung.
Namun, untuk mengomunikasikan apa yang kurasakan atau kupikirkan, kenapa susah sekali, ya?
Dalam konseling pasangan yang kuikuti beberapa waktu lalu, misalnya saja. Psikolog yang menangani kami menanyakan padaku, “Apa yang kamu sukai dari pasanganmu?”
Di dalam kepala, ada banyak sekali kalimat yang melintas secara acak, sekaligus sudah tersusun rapi. Cukup menyampaikannya saja secara verbal. Namun, saat itu aku benar-benar kesulitan melakukannya hingga psikolog kami akhirnya memutuskan untuk mengganti pertanyaan setelah melihatku secara fisik nampak ingin menangis.
Kupikir, untuk sesuatu yang tidak berhubungan secara langsung dengan diriku, aku bisa secara asertif, dan agresif, mengemukakannya. Tetapi, untuk sesuatu yang berhubungan langsung dengan diriku, rasanya ada proses tambahan yang perlu kulakukan.
Jadi, kadang bingung juga ketika aku mendengar orang menyebutku asertif atau vokal, because, boy, you don’t know how silent I can be, or usually be. Akhir-akhir ini, untungnya tak banyak kesempatan untuk mendengarkan pujian tersebut. Karena, dengan situasiku saat ini, kemungkinan besar aku akan langsung menangis saat mendengar pujian itu.
Rasanya tidak pantas saja ketika aku mengetahui bahwa asertif dan agresif ini diberikan dalam konteks pujian, padahal banyak sekali aspek dalam kehidupanku yang justru berantakan karena aku tidak sanggup bersikap asertif dan agresif.
Sebenarnya, sejauh mana, sih, kita boleh bersikap asertif? Karena, dalam situasi tertentu, entah mengapa, aku bisa dengan mudah menceritakan bagian-bagian hidupku, mengemukakan apa yang kupikirkan. Namun, ketika aku melakukannya, tak sedikit pula yang berjengit dan kemudian enggan untuk mengobrol denganku lagi.
Di satu sisi, aku cukup paham, sih. Kepalaku tak hanya diisi dengan berbagai hal yang indah dan menyenangkan saja. Tak jarang, ada pula bagian kepalaku yang penuh dengan pikiran-pikiran intrusif yang tak enak didengar; pikiran-pikiran yang membuat orang merasa tidak nyaman; dan tak semua orang bisa merasa nyaman mendengarkan pikiran-pikiran tersebut.
Di sisi lain, kurasa kebingungan dalam menentukan sejauh mana aku bisa bersikap asertif juga berkontribusi pada diamku. Memahami bahwa apa yang nyaman kubagikan mungkin tidak nyaman diterima yang mendengar tidak lantas membuatku bisa dengan nyaman membagikan apa yang nyaman didengar orang lain.
Jadi, sejauh mana sebaiknya aku menjadi asertif?
Leave a Reply