Dari beberapa posting sebelumnya, sebenarnya memang bukan rahasia lagi kalau aku memiliki kendala yang cukup besar dalam mengekspresikan emosiku. Jangankan mengekspresikan, terkadang mencoba mengenali emosi apa yang tengah kurasakan pun butuh perjuangan yang cukup melelahkan.
Pun demikian, rasa benci, atau mungkin digust, kurasa termasuk emosi yang paling mudah kuekspresikan, terkadang bahkan tanpa aku sungguh-sungguh berniat menunjukkan kebencian tersebut. Entah dari sikap yang kuambil atau air muka yang tampil, tak sulit bagi orang-orang di sekitarku untuk mengenali kebencian itu.
Mungkin karena itu, aku merasa bahwa kebencian juga menjadi salah satu kambing yang paling hitam. Maksudnya, ketika aku kesulitan untuk mengenali emosi yang sedang kurasakan, membenci seseorang, atau sesuatu, muncul sebagai jalan pintas yang menggoda diambil di tengah kepusingan dalam menentukan emosi yang tengah dirasakan.
Sayangnya, kadang seekor kambing hitam pun membutuhkan teman. Setidaknya, demikian bagiku. Ketika aku kesulitan untuk mengidentifikasi apa yang kurasakan, membenci menjadi solusi yang selalu kuambil; dan ketika aku kesulitan untuk mengarahkan kebencian, membenci diri sendiri pun menjadi akhir perjalanan.
Aku benci diriku sendiri. Aku benci dengan setiap keputusan yang kuambil. Aku benci dengan semua ketidakberdayaan yang kutunjukkan. Aku benci dengan berbagai pikiran yang melintas di kepalaku. Aku benci diriku.
Tidak sehat, memang, membenci diri sendiri. Namun, jika dibandingkan harus membenci orang lain; membenci mereka yang memang seharusnya menjadi sasaran kebencian. Ini juga menjadi bagian yang paling aku benci: menyadari kepada siapa seharusnya kebencian itu kutujukan, tetapi pada akhirnya tetap mengarahkan kebencian itu sendiri.
If I can be honest, at least to myself, I hate the way you treated me like shit. I hate the way you kept me hanging to the sliver of hope that you show, knowing well that you’ve never even think to give it to me. I hate the way you made me think like I still have a chance, hang it like a carrot over my head. I hate the way you led me to hate myself, even when I know that it’s not me who I need to hate.
Bodohnya, bahkan ketika aku berupaya untuk jujur pada diriku sendiri tentang hal-hal yang membuatku membencimu, di penghujung hari tetap saja aku membenci diriku sendiri yang membiarkanmu memperlakukanku seperti itu. Aku benci pada diriku sendiri yang tidak bisa bersikap frontal dan jujur padamu bahwa aku benci bagaimana kau memperlakukanku.
Mungkin menyenangkan, ya, bila kita bisa mengarahkan kebencian yang kita bendung dan meluapkannya pada orang yang memang sudah sepantasnya tenggelam oleh kebencian itu? Sayangnya, dari lubuh hati yang paling dalam, aku sadar bahwa aku memang tidak ingin membenci orang tersebut, dan karenanyalah aku membenci diriku sendiri.
Leave a Reply