placeholder

your best pick for something trivial


Tentang Mengikhlaskan (Ketidakmampuan)

Sebagai pribadi yang kompetitif, dan terlihat cerdas, tak sedikit yang mengira aku seorang mahasiswa penerima beasiswa ketika kuliah. Waktu itu, di angkatanku memang cukup banyak mahasiswa penerima beasiswa.

Entah beasiswa yang diberikan karena prestasi atau beasiswa untuk mahasiswa dari kondisi ekonomi kurang mampu. Kedua jenis penerima beasiswa ini cenderung banyak bertanya di kelas dan ambisius mengejar nilai-nilainya. Tidak aneh, memang, karena mereka memang harus mempertahankan prestasinya bila ingin terus memperoleh beasiswa.

Bagian harus mempertahankan prestasi mungkin tak begitu kentara dariku. Namun, untuk banyak bertanya di kelas dan ambisius mengejar nilai, aku tak jauh berbeda—meski kerap kuimbangi dengan banyak tidur di kelas pula. Jadi, tak aneh jika ada yang memasukkanku dalam golongan mahasiswa penerima beasiswa.

But I’m not. I’m just hella competitive.

Sebenarnya, kalau boleh jujur. Aku bisa saja mengambil beasiswa, terlebih yang diberikan untuk mereka yang berprestasi. Sekalipun aku tidak datang dari keluarga yang kaya raya, beasiswa untuk keluarga tidak mampu tak akan bisa kuterima karena ayahku seorang PNS.

Namun, tidak. Sepanjang kuliah (dan bagi kalian yang belum tahu, kuliahku benar-benar panjang, hampir sembilan tahun jika tidak lebih), aku sama sekali tidak terpikirkan untuk mengambil beasiswa.

Bagi kebanyakan orang, mungkin keputusanku tersebut terkesan aneh. Wajar saja, sih, memangnya siapa yang tak mau memiliki uang saku lebih? Daripada hidup sebagai mahasiswa kere yang kadang baru bisa makan ketika teman-teman menginisiasi untuk patungan, berfoya-foya dengan uang kuliah dari orang tua, sementara biaya kuliah dibayar dengan uang beasiswa, jelas terasa sebagai keputusan yang bijak.

Toh kalau memang diusahakan, aku yakin mampu untuk mendapatkan satu atau dua beasiswa untuk membiayai kuliahku, kan?

Hanya saja, saat itu, dan mungkin sampai sekarang, aku masih merasa bahwa dengan tidak mengambil beasiswa apa pun, aku telah menunjukkan baktiku kepada orang tua, terlebih kepada ayahku.

Berbeda dengan kebanyakan anak bungsu lainnya, aku adalah anak bungsu yang tidak dimanja. Jujur, dianggap ada saja aku sudah bersyukur, apalagi dibayari kuliah.

Ayahku bukanlah sosok ayah idaman yang selalu hadir untuk anak-anaknya. Sebaliknya, seingatku, sejak aku berusia lima tahun, ayah memilih untuk bekerja di luar kota. Sebenarnya, dia bisa saja memilih untuk tetap bekerja di kota tempat kami tinggal, tetapi dia memilih untuk dipindahkan ke luar kota.

Selama beliau di luar kota, jarang sekali dia mengunjungi kami. Tiap bulan, ibukulah yang mengunjunginya di kota tempat beliau bekerja, barang dua atau tiga hari, kemudian kembali ke kota kami tinggal.

Aku baru hidup kembali bersamanya ketika aku masuk SMA. Jadi, bisa dibilang aku tidak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahku. Selama masa itu, kehadirannya hadir dalam bentuk uang untuk hidup, itu pun hidup yang serba berkecukupan, bukan hidup bermewah-mewah.

Oleh karena itu, ketika aku lulus SMA dan memulai kuliahku, aku memutuskan untuk tidak mengejar beasiswa apa pun. Aku secara sadar membiarkan ayahku membayar biaya kuliahku secara penuh.

Ketika selama ini beliau hanya bisa hadir dalam hidupku dengan memberi uang, menurutku akan jahat sekali bagiku jika aku memutus kehadirannya tersebut dengan mengambil beasiswa. Aku merasa, jika beliau hanya bisa hadir dalam bentuk uang, biarlah selamanya beliau hadir dalam bentuk uang.

Aku membantu beliau dengan memastikan untuk hanya berkuliah di perguruan tinggi negeri yang biayanya akan jauh lebih murah jika dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta. Namun, jika harus sepenuhnya menggantikan kehadirannya dengan beasiswa; jujur, aku tidak tega.

Aku memahami ketidakmampuan beliau untuk hadir dalam hidupku. Tidak masalah. Ketidakmampuannya mengajarkanku untuk ikhlas, dan benar aku sungguh ikhlas.

Sama sekali tidak masalah bagiku hidup sedikit kekurangan karena hanya mengandalkan kiriman uang dari beliau; pasalnya, memang itu saja yang saat itu bisa kuandalkan dari beliau.

Andai aku mengambil beasiswa, tentu hidupku akan jauh lebih tenang; baik saat itu—dan mungkin hingga sekarang. Namun, apakah elok jika aku secara sadar mematahkan usahanya untuk hadir dalam hidupku?



One response to “Tentang Mengikhlaskan (Ketidakmampuan)”

  1. Ikhlas, tapi nangis dikit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.