Pernah dengar, tidak, sih, kalau zaman dulu, kabarnya, manusia bisa hidup hingga ratusan atau bahkan ribuan tahun. Entah, ya. Saat aku kecil, teori-teori semacam ini sering sekali kudengar; tentang manusia yang berumur panjang, berbadan besar, dan sepenuhnya berbeda dengan manusia yang sekarang bisa kita lihat sendiri.
Seingatku, saat kecil, aku benar-benar percaya bahwa manusia di zaman dahulu bisa hidup ratusan tahun, dan bahkan memiliki badan yang besar seperti raksasa. Mungkin karena aku tumbuh besar dikelilingi cerita-cerita nabi dengan beragam keajaiban dan mukjizat yang mereka miliki. Beranggapan bahwa manusia bisa mencapai usia hingga lebih dari seratus tahun jadi terasa sangat masuk akal.
Namun, itu dulu. Kalau sekarang, rasanya agak sedikit skeptis saja, sih. Pasalnya, dengan pesatnya kemajuan teknologi yang ada sekarang ini saja, angka harapan hidup masyarakat sulit sekali untuk ditingkatkan. Dalam beberapa dekade terakhir, cmiiw, angka harapan hidup orang Indonesia hanya naik sekitar lima tahun saja.
Anggapan bahwa orang zaman dulu bisa berumur panjang, menurutku pribadi bisa jadi benar. Setidaknya, ada dua kemungkinan yang kupikirkan.
Pertama, orang-orang di zaman para nabi tersebut memiliki peradaban yang jauh lebih maju jika dibandingkan dengan zaman sekarang. Dengan demikian, tidak aneh apabila angka harapan hidup manusia bisa didorong hingga ke usia tiga digit. Atau …
Kemungkinan kedua, semakin lama, kemajuan peradaban manusia justru menurunkan angka harapan hidup. Misalnya saja, dengan bertambah majunya peradaban, kompleksitas hidup seseorang pun akan meningkat. Pola konsumsi semakin beragam, misalnya saja yan bisa kita temukan sekarang, konsumsi bahan sintetis baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kalau dipikir kembali, bukan tidak mungkin, sih, peradaban modern ini menjadi racun untuk kehidupan manusia itu sendiri, membuat angka harapan hidupnya jatuh ke dua digit.
Namun, tentu saja, kedua kemungkinan tersebut dipikirkan dengan asumsi bahwa benar manusia pada zaman para nabi memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada manusia modern. Sekadar hipotesis saja, bukan fakta.
Kedua kemungkinan yang terpikirkan olehku tersebut bisa jadi benar, tetapi hanya sebagian. Banyaknya peninggalan peradaban lama yang bahkan tidak mungkin diciptakan dengan teknologi yang ada sekarang dapat dijadikan dasar berpikir bahwa, bisa jadi, peradaban di masa itu lebih maju jika dibandingkan dengan peradaban modern masa kini.
Tingginya kompleksitas peradaban pun masih masuk akal jika dianggap sebagai penyebab turunnya angka harapan hidup, kan? Meski, menurutku pribadi, agaknya sedikit tidak masuk akal; sedikit tidak signifikan saja.
Berpikir demikian, menurutku cerita bahwa orang zaman dulu memiliki usia yang panjang lebih mudah dipahami sebagai kebohongan saja. Menurutku, manusia secara alami, tanpa disadari, cenderung untuk menunda kematian.
Baik sebagai individu maupun sebagai sebuah kolektif, lebih mudah untuk percaya bahwa tidak ada manusia yang ingin mati cepat. Itulah mengapa, di era modern ini, angka harapan hidup memiliki kecenderungan untuk meningkat setiap tahunnya, walaupun mungkin peningkatannya tidak signifikan.
Namun, kenapa, sih, kita menunda kematian? Jika siklus hidup adalah sesuatu yang sudah pasti, bahwa manusia akan lahir dan kemudian mati, kenapa harus ditunda?
Kenapa untuk kematian kita selalu berupaya sekuat tenaga untuk menundanya, tetapi kita tidak boleh menunda pekerjaan? Apakah karena dengan tidak menunda pekerjaan, artinya kita berupaya untuk menunda kematian? Apakah itu artinya bekerja adalah upaya untuk mempercepat datangnya kematian?
Bisa jadi.
Leave a Reply