placeholder

your best pick for something trivial


Tentang Merencanakan (Bencana)

Sejak kecil, ibu berulang kali menasehati, “Belajar yang pintar, buktikan kalau kamu pintar.” Alasannya cukup sederhana, “Sadar diri, di rumah ini, cuma masmu yang dianggap anak.”

Tadinya, aku menganggap ucapan itu sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Kami tiga bersaudara dengan komposisi perempuan, laki-laki, dan aku si bungsu laki-laki. Kalau hanya anak laki-laki pertama yang dianggap sebagai anak dan diharap-harapkan dapat meneruskan nama keluarga, kan, sama sekali tidak aneh, ya?

Namun, bertahun-tahun setelahnya, aku baru sadar maksud dari ucapan ibuku tersebut, justru ketika ibu sudah berpulang beberapa tahun lamanya.

Read more: Tentang Merencanakan (Bencana)

Datang dari keluarga Jawa yang patriarkis dua-duanya, aku sama sekali tidak masalah jika ayah dan ibuku, terutama ayahku (dan keluarganya), hanya menganggap anak laki-laki pertama sebagai anak, sementara kakak dan adiknya dianggap sebagai pelengkap.

Kurasa, jika nanti aku memiliki anak, aku pun mungkin akan memiliki euforia yang sama terhadap anak laki-laki pertamaku. Sebagai sebuah budaya, patriarki memang bukan sesuatu yang mudah dihindari. Sekalipun paham dan berniat teguh menghindari pola pikir yang patriarkis, kemungkinanku untuk tidak terpeleset di lubang ini juga tidak nol. Well, anyway …

Nah, beberapa tahun lalu, ketika aku membereskan barang-barang ibu setelah beliau berpulang. Aku menyadari bahwa ucapan tersebut tidak datang dari budaya patriarki yang memang kental menggumpal di keluarga-keluarga Jawa, tetapi sungguh-sungguh dimaksudkan secara literal oleh ibu.

Tidak perlu bingung, karena perkara ini sesederhana tentang berencana dan merencanakan.

Sejak awal, kami semua tahu (dan hapal) bahwa kakak perempuanku, si sulung, berulang tahun di awal bulan Desember. Namun, baru belakangan ini aku tahu dari buku nikah ibuku bahwa beliau menikah tidak di awal tahun atau di tahun sebelumnya, melainkan di pertengahan tahun yang sama dengan tahun si sulung dilahirkan.

Yap, benar sekali. Konsepsi kakak perempuanku yang paling mandiri dan banyak uang itu terjadi di luar pernikahan. Boom! Agaknya, selain menjadi yang paling mandiri dan banyak uang, kakakku ini juga menjadi anak yang paling tidak diharapkan. Boom boom!

Kakak laki-lakiku, si tengah, lahir dua tahun setelah kakak pertama; dan ia terlahir ketika ayahku masih banyak harta. Setidaknya, itu yang kutangkap saat melihat foto-foto masa kecil kedua kakakku.

Kemudian, lima tahun setelahnya, aku lahir sebagai si bungsu.

Jika dilihat secara sekilas, tidak ada yang aneh dengan fakta tersebut. Bisa jadi, ketika kedua kakakku sudah mulai tumbuh besar, orang tuaku memutuskan untuk menambah momongan. Di era tersebut, memiliki anak lebih dari dua memang cukup umum, sih, walau rentangnya mungkin tak sejauh rentang usiaku dengan kakak-kakakku. Jadi, aku tetap menganggapnya wajar-wajar saja.

Sayangnya, karena aku menjalani hidup yang sama dengan mereka; tinggal di rumah yang sama, makan nasi dari dandang yang sama, dan terlibat langsung dalam rutinitas dan dinamika keluarga yang sama, aku kehilangan kemampuan untuk melihat situasiku secara sekilas saja.

Ditambah lagi, aku kebetulan juga tahu bahwa saat mengandungku, ibu tengah mengambil program diploma dan terpaksa harus berhenti bersekolah.

Yap, another boom, aku adalah anak hasil dari gagal kontrasepsi. Aku adalah anak yang tidak diharapkan.

Setelah memahami latar belakang di balik kelahiran si sulung dan si bungsu, tentunya ucapan ‘di rumah ini, cuma masmu yang dianggap anak’ akan terasa sedikit berbeda. Terasa sangat literal. Setidaknya bagiku.

Meski tak pernah sekalipun kudengar ayah atau ibuku terang-terangan menyatakan bahwa si sulung dan si bungsu bukanlah anak yang mereka harapkan, ucapan bahwa hanya si tengah yang dianggap anak tetap terasa cukup literal.

Karena si bungsu, aku, ibuku harus berhenti bersekolah dan cukup puas hidup seadanya sebagai ibu rumah tangga. Padahal, aku tahu mimpi-mimpinya cukup besar, dan keterampilan yang dimilikinya pun bisa menghasilkan uang yang cukup untuknya hidup bahagia jika diasah melalui pendidikan formal.

Karena si sulung, kakak perempuanku, ibuku harus berkelahi dengan keluarganya dan cukup puas hidup bersama ayahku yang tak bisa dibilang suami idaman. Padahal, aku tahu pula keluarga ibuku sangat menyayanginya, dan hidupnya akan sangat mapan jika tidak memilih hidup terpisah dari keluarganya tersebut.

Tentunya, ibu tak hanya mengorbankan hidupnya sendiri saja, tetapi juga hidup anak-anaknya, terutama si sulung dan si bungsu.

Si sulung, terlatih untuk mandiri secara alami, tak pernah berlama-lama berdiam diri di dekat keluarga. Begitu lulus SMA, dia keluar dari rumah dan membangun sendiri hidupnya. Membangun keluarganya sendiri. Kami semua bahkan baru tahu wajah suaminya satu hari sebelum hari pernikahannya karena dia memilih untuk bekerja di luar pulau dan menikah dengan pemuda setempat, segera setelah mendapatkan gelar sarjananya.

Sementara aku, si bungsu, sudah cukup terbiasa merasa tidak dianggap dan tak pernah memberi tahu kedua orang tuaku di kota apa aku hidup saat ini, bahkan setelah aku menetap.

Menurutku, di era yang sudah serba modern seperti sekarang, dengan beragam metode kontrasepsi dan riset-riset terkait yang terus dikembangkan setiap tahunnya, bodoh sekali bila kita tidak merencanakan dengan baik bencana seperti apa yang ingin kita berikan untuk hidup kita sendiri dan juga untuk hidup anak-anak kita.



One response to “Tentang Merencanakan (Bencana)”

  1. Akhirrul kalam, I’m not ashamed for working on an unplanned pregnancy line of work, even before I found the truth about my family.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.