Baru-baru ini (sejak bulan Juni lalu), aku mencoba kembali menekuni hobi membaca yang sempat kumiliki sewaktu masih berkuliah. Lebih tepatnya hobi membeli buku, sih, karena waktu itu pun rasanya lebih banyak buku yang kubeli, dibandingkan dengan buku yang kutamatkan.
Nah, mungkin sudah bukan rahasia lagi, ya, kalau aku termasuk orang yang bermasalah dengan komitmen. Jadi, tentu saja, setelah tiga bulan pun sebenarnya tidak banyak buku yang sudah selesai kubaca—meski sudah banyak yang kubeli; mungkin baru tiga atau empat judul saja yang berhasil kubaca hingga selesai dalam rentang tiga bulan tersebut.
Membaca, menurutku, merupakan sebuah aktivitas yang lebih dari tindakan membaca itu sendiri. Aku kurang bisa menemukan frasa yang tepat, tapi kurasa membaca merupakan sebuah perjalanan spiritual yang menyenangkan.
Entah dengan orang lain, tetapi saat membaca, otakku tak sepenuhnya terfokus pada apa yang kubaca. Ia sibuk pula mencerna dan membayangkan beragam skenario—baik skenario yang berbeda dari yang sedang dibaca, skenario yang berandai-andai dengan pendekatan what if, dan juga skenario yang bisa kuanggap ideal sebagai what should be.
Kurasa, dengan anggapan bahwa semua orang memiliki pengalaman membaca yang serupa, inilah yang membuat membaca menjadi sebuah aktivitas penajam otak. Tak hanya mencerna apa maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, kita juga berpikir, membayangkan, dan berandai-andai; semuanya dalam waktu yang nyaris bersamaan.
Buku yang saat ini kubaca, Dari dalam Kubur karangan Soe Tjen Marching (mungkin akan kubuatkan resensinya setelah berhasil kutamatkan), merupakan novel yang dikarangnya berdasarkan wawancara dengan korban pembantaian 1965.
Dari buku tersebut, di setiap baris yang kubaca, bermunculan berbagai what if dan what should be yang menarik. Wajar saja, sebenarnya, karena dari tema serta sumber yang sedemikian fenomenal, rasanya agak sia-sia jika tidak ada pikiran apa pun yang terpantik saat membacanya, kan?
Salah satu gagasan yang menarik bagiku dilontarkan oleh tokoh ibu dari protagonis utamanya, Djing Fei, yang menjabarkan bahwa kebanyakan orang dipelihara agar tetap bodoh atau fokus dengan bahasa nasionalnya, karena dengan demikian, mereka hanya bisa membaca buku-buku dengan bahasa nasional, tanpa sempat berkenalan dengan ide-ide subversif yang lebih liar berkeliaran dalam buku-buku berbahasa asing.
Dengan peristiwa 1965 sebagai latar belakangnya, kecintaan terhadap identitas nasional memang menjadi sesuatu yang sungguh jamak. Masyarakat dikondisikan untuk takut menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa mandarin, agar tidak dituduh sebagai simpatisan PKI. Padahal, informasi yang disampaikan dengan bahasa Indonesia bisa lebih mudah untuk diatur sepenuhnya oleh pemerintah.
Gagasan Djing Fei tersebut sebenarnya hanya ditulis selewat saja, tetapi entah mengapa terekam dengan jelas dan terus menggema di dalam kepalaku; terlebih karena beberapa waktu lalu diskursus tentang kebanggaan untuk menikmati produk literasi dengan bahasa terjemahan Indonesia juga sedang ramai-ramainya di linimasaku.
Di satu sisi, tentu aku setuju bahwa buku terjemahan tidak lebih buruk jika dibandingkan dengan buku yang sama, tetapi ditulis dalam bahasa aslinya. Ini juga alasan mengapa kini aku menghidupkan kembali hobi membacaku. Aku ingin dengan bangga memberi tahu dunia bahwa aku membaca—apa pun itu, buku terjemahan, buku berbahasa Inggris, esai fenomenal, artikel online sederhana; apa pun! Aku ingin orang lain pun bisa dengan bangga membaca apa pun yang ingin mereka baca, terjemahan sekalipun.
Namun, di sisi lain, rasanya sayang jika kebanggaan terhadap bahasa nasional ini kemudian justru tumbuh menjadi tembok tinggi yang menghalangi orang untuk mempelajari bahasa lain. Karena, seperti yang disampaikan Djing Fei, konsumsi literasi mestinya tak terbatas pada satu bahasa tertentu; bahwa ide bisa datang dari mana saja, dan gagasan-gagasan subversif sering kali muncul dari literatur yang ditulis dalam bahasa asing.
Idealnya, tentu saja kita sebaiknya sebanyak mungkin menerjemahkan literatur asing ke dalam bahasa Indonesia. Namun, di zaman yang sudah serba penuh birokrasi seperti sekarang, tentu idealisme tersebut akan terasa mahal; tak hanya dari segi waktu, tetapi juga biaya. Sesuatu yang tentunya belum perlu menjadi prioritas ketika tingkat literasi dan komprehensi membaca kita dalam bahasa nasional masih sangat rendah.
Like … I didn’t fancy a colonizer language like English. Yes, I use it on daily basis, but I don’t have any respect whatsoever to this language. Every mistakes I made, every context I am missing, all are intentional because fuck you colonizer. Akan tetapi, Djing Fei juga tak sepenuhnya salah, mempelajari bahasa asing dapat membebaskan diri kita untuk sepenuhnya menikmati beragam gagasan subversif yang selama ini kita lewatkan.
Leave a Reply to 8eats at once Cancel reply