As you all know, beberapa waktu lalu, aku baru saja patah hati dengan berakhirnya hubungan yang sudah terjalin kurang lebih tujuh tahun.
Nah, tadinya kupikir aku tidak akan menjalin hubungan lagi dengan siapa pun, kan? Bukan karena terlalu lelah dengan proses patah hati yang berlangsung berbulan-bulan itu, bukan. Bukan juga karena aku tidak percaya lagi dengan cinta atau mencintai—I’m just want to take a break from anything I do, sama seperti perasaan ketika kita ingin istirahat saja dulu setelah resign dari kantor yang sudah mengayomi kita bertahun-tahun, kan?
But God loves me in a really weird way. Beberapa waktu lalu, aku dipertemukan dengan seseorang yang membuatku merasa bahwa mungkin waktu istirahatku memang sudah usai. Seseorang yang mungkin bisa memberi tahu bagaimana cara mencintai dengan berbeda—dan mungkin juga terluka dengan cara yang tak sama.
Jujur, membangun komitmen jelas bukan karakteristikku yang paling unggul, bahkan mungkin tidak masuk dalam my top 5 best qualities, baik sebagai manusia atau sebagai seorang kekasih. Namun, dengan orang yang baru ini, aku menemukan kesempatan untuk membangun komitmen yang sungguh-sungguh baru, komitmen yang sebelumnya tidak pernah sempat kubangun.
Masalahnya adalah dia seorang gemini.
Sebenarnya tidak terlalu masalah, sih, karena astrologi toh merupakan pseudoscience yang tak pernah dibuktikan secara empiris. Namun, semakin lama aku berinteraksi dengan orang yang baru ini, harus kuakui aku pun semakin percaya dengan astrologi.
Mungkin keterampilanku yang memang kurang—skill issue, tetapi merayu seorang gemini ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Meski dengan ribuan rayuan, baik secara verbal maupun tindakan, ternyata yang baper justru aku, guys, help!
Padahal, niatku adalah merayunya dengan sekuat tenaga agar dia luluh dan mau menerima perasaanku. Namun, di setiap rayuan yang kulempar padanya, tanggapan yang dia berikan justru membuat degup jantungku melompat, satu …, dua …, tiga …, entah berapa banyak.
Di samping itu, selayaknya interaksi antarinsan manusia pada umumnya, ada pula tindakannya yang membuatku jengkel. Anehnya, tak pernah untuk terlalu lama. Meski dengan mulut yang cemberut, sedikit saja kedipan atau senyuman darinya, dan aku pun sudah lupa mengapa tadi aku cemberut. Sungguh bahaya.
Jujur, situasi ini justru membuatku ragu untuk terus maju.
Aku merayunya dengan tujuan untuk meluluhkan hatinya. Namun, jika ternyata yang luluh justru hatiku, apa bijak jika aku terus merayunya?
Leave a Reply to 8eats at once Cancel reply