Kalau Coco Chanel pernah berkata, “Fashion you can buy, but style you must possess.”, Iris Apfel menggunakan kalimat, “You can’t buy style, you have to have it.”
Tak jauh berbeda, Rachel Zoe juga mengatakan, “Style is a way to say who you are without having to speak.” Selain itu, entah siapa yang mengatakan, ada juga kutipan yang menyebutkan bahwa ‘fashion is about buying the latest trend, style is about creating your own’.
Intinya, tentang fesyen dan gaya, tetap sama, sih—fesyen merupakan sesuatu yang bisa kita beli, bisa juga tidak; tetapi tidak dengan style atau gaya yang memang harus dimiliki dan menjadi ciri khas kita sendiri; sesuatu yang terinternalisasi dari dalam diri kita.
Aku terpapar pola pikir terkait fashion dan style ini sebenarnya belum lama, baru di tahun-tahun akhir kuliah ketika jalanku menuju tikungan yang sama dengan tikungan yang dilalui jalan hidup Dhyta.
Sebagai seorang yang bergerak di bidang aktivisme, menurutku waktu itu gaya berpakaian Dhyta lumayan aneh. Namun, waktu itu kukira memang para aktifis di Jakarta memiliki gayanya sendiri. Jika dibandingkan dengan Jogja, kota yang menyimpan persimpangan hidupku dan beliau, Jakarta yang menjadi daerah khusus ibu kota memang jauh lebih modern, progresif, dan …, yah, stylish.
Kalau boleh jujur, aku bersyukur karena dulu sempat merendahkan gaya berpakaian Dhyta, karena dari peristiwa itu pula Dhyta berkesempatan untuk menceramahiku tentang fesyen, dan karenanya, aku bisa memperbaiki pola pikirku terkait fesyen, dan terutama tentang selera.
Sebelum kuliah singkat dari Dhyta, bisa dibilang aku termasuk orang yang mudah merendahkan selera orang lain—sekarang pun mungkin masih, sih, tapi jelas tidak separah dulu. Sungguh.
Cemoohan seperti, “Selera lo jelek, sih!” atau “Selera lo kampungan!” merupakan cemoohan yang sering kudapat, dan lebih sering lagi kulontarkan. Namun, kutipan-kutipan tentang fashion versus style itu kurasa ada benarnya juga ketika diaplikasikan pada selera.
Di tahun-tahun akhir kuliahku tersebut, akhirnya aku menyadari bahwa selera bukan seperti fesyen yang bisa dibeli jika kita punya uangnya; dan belum tentu akan terangkat derajatnya pula ketika kita membeli sesuatu yang mahal. Selera justru lebih seperti gaya yang memang sudah terinternalisasi dalam diri seseorang.
Musik seperti apa yang enak didengarkan, film dengan genre apa yang menarik untuk ditonton, makanan dari daerah mana yang bisa membuat lidah bergoyang, semuanya tergantung selera dan terkadang posisinya tidak berupa hierarki: ada selera yang tinggi, ada selera yang umum, dan ada pula selera yang rendah. Tidak demikian, ternyata.
Mungkin, mungkin saja, mungkin memang benar ada yang disebut selera tinggi, selera sedang, dan selera rendah. Namun, ketika mengetahui bagaimana konsep selera bisa terbentuk, rasanya agak kurang etis juga, sih, untuk merendahkan selera orang lain.
Seperti style, selera bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang. Selera terbentuk dari pola yang berulang, yang bisa saja terpantik secara tiba-tiba, bisa juga karena diupayakan dengan susah payah agar terbiasa. Pola tersebut kemudian berulang mungkin hampir sepanjang usia seseorang hingga menjadi sebuah preferensi; menjadi sebuah selera.
Orang yang sebelumnya mungkin tidak suka terong karena jijik melihat teksturnya yang lembek dan aneh, bisa jadi akan berselera memakan terong setelah mencobanya sekali, atau dua kali, atau dipaksakan hingga ribuan kali hingga terbiasa dan suka.
Orang yang sebelumnya sangat suka dengan terong pun mungkin akan jijik ketika disuguhkan terong apabila pada satu waktu dalam hidupnya, ketika sedang sakit atau sebab lain, dipaksa untuk makan terong sekali, atau dua kali, atau dipaksakan hingga ribuan kali hingga merasa cukup.
Seperti style, selera tidak dipajang di etalase untuk kita pilih, beli, dan konsumsi. Selera merupakan akumulasi hidup seseorang hingga akhirnya dia tiba di depan etalase, memilih untuk membeli apa yang memang ingin dikonsumsi.
Lagu dangdut yang dianggap kampungan, kerap menjadi selera yang direndahkan, padahal bisa jadi seumur hidupnya, mereka yang suka dengan lagu dangdut memang hidup di lingkungan yang membuat mereka terbiasa dan berselera dengan lagu dangdut, kan?
Tahun-tahun terakhir ini, aku sudah tidak lagi melontarkan cemoohan macam ‘seleramu rendah!’ atau ‘seleramu kampungan’, karena—selain kampung bukan sesuatu yang buruk juga—bagiku sekarang, merendahkan selera seseorang tak hanya mencemooh seleranya saja, tetapi juga mencemooh setiap kebiasaan, pola berulang, dan hidup seseorang.
Menghina selera seseorang, bagiku sekarang, tak ubahnya menghina bagaimana orang tersebut hidup dari sejak ia dilahirkan hingga akhirnya hidupnya bersimpangan jalan dengan hidupku; dan menurutku itu bukan sesuatu yang pantas untuk dilakukan, karena aku sendiri toh mungkin tidak akan mampu jika harus menjalani hidup orang yang seleranya kurendahkan itu.
Namun, sampai sekarang aku tidak menyesal pernah menjadi orang yang merendahkan selera orang lain. Karena, jika tidak, mungkin aku tidak akan bilang ke Dhyta kalau gaya berpakaiannya aneh, sehingga Dhyta pun tidak akan menunjukkan foto-foto Iris Apfel melalui handphonenya; dan aku pun tidak akan berkesempatan untuk mengenal pola pikir baru terkait selera (dan bahwa mungkin di mata Dhyta justru akulah yang tidak punya selera dan tak tahu apa pun soal style).
Seperti style dan selera, kurasa pola pikir dan cara pandangku ini juga bukan sesuatu yang bisa ditemukan di etalase mana pun untuk dibeli. Jadi, alih-alih menyesal pernah menjadi orang yang merendahkan selera orang lain, aku berterima kasih karena orang yang kurendahkan seleranya ternyata mengajariku banyak hal yang tak pernah kuketahui sebelumnya.
Thanks, Beb!
Leave a Reply to 8eats at once Cancel reply